facebook/twitter

Rabu, 25 April 2018

Ibu Kartini, pingitan yang merenggut masa kecil

R.A Kartini. wikipedia.org
TEMPO.COJakarta -Kartini kehilangan masa kecilnya ketika ia harus menjalani masa pingitan, sebagaimana anak perempuan Jawa di masa itu. Kala itu, sekitar awal 1892, Kartini yang baru saja lulus Europeesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang Eropasedang galau. Di usianya yang belum genap 13 tahun, ia sudah diperintahkan ayahnya menjalani pingitan.
Dia sempat menghiba ke ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, agar diizinkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School (HBS, setingkat sekolah menengah) di Semarang. “Tidak,” jawab sang ayah tegas, seperti ditulis dalam edisi khusus Kartini majalah Tempo, 22 April 2013.
"Berlalu sudah! Masa muda yang indah sudah berlalu!" tulis Kartini menggambarkan nasibnya dalam salah satu suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri kedua Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Industri, dan Agama Hindia Belanda.
Seketika dunia Kartini menyempit. Dia dilarang keluar dari kompleks rumahnya yang megah. Jangankan ke pendapa, serambi saja hanya sesekali diinjaknya. Itu pun sebentar. Hari-harinya yang menjemukan semakin sunyi tatkala Letsy Detmaar, kawan sekolahnya dulu yang beberapa kali datang ke rumahnya, pulang ke Belanda.
Hampir saban pagi matanya berkaca-kaca ketika melihat kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, berangkat ke sekolah. Masih teringat jelas di benaknya betapa riang suasana di sekolah.
Kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar, aktivis feminis dari Belanda yang menjadi sahabat pena pertamanya, Kartini menceritakan betapa putus asa ia menjalani pingitan yang mengerikan. Beberapa kali dia membenturkan tubuh ke dinding batu tebal di sekeliling rumah dan gerbang yang selalu terkunci. Otaknya terus mempertanyakan mengapa begitu rendah kedudukan wanita di tanah kelahirannya. Begitu pula soal beraneka tradisi feodal lainnya.

Selanjutnya:Melahap buku dalam "Kurungan"

Perlahan Kartini menyadari keputusasaan dan tangisannya tiada berguna. Belakangan dia bersyukur karena pingitan tak menjadi penghalang untuk meneruskan kegemarannya sedari kecil: membaca. Di dalam ”kurungan”, dia melahap habis buku-buku modern kiriman RM Panji Sosrokartono, kakak kandungnya yang “lebih beruntung” karena dapat melanjutkan sekolah di HBS Semarang hingga Universitas Leiden, Belanda.
Kartini juga memanfaatkan kotak bacaan (leestrommel) langganan ayahnya, yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri. Bacaan-bacaan bertema sosial, politik, hingga sastra itu membantu Kartini menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Tanpa sadar segala bacaan itu telah mendidiknya--yang selama ini seakan-akan menjadi perempuan muda Jawa yang terbuang dari pendidikan--untuk berjuang mendobrak tradisi yang menindas kaum perempuan.
Pada tahun keempat menjalani pingitan, nasib Kartini sedikit membaik. Dua kakaknya yang menentang gagasan perlawanannya pergi dari rumah. Slamet Sosroningrat meninggalkan Jepara dan RA Soelastri dipersunting Patih Kendal Raden Ngabei Tjokroadisosro. Kartini memanfaatkan kepergian mereka untuk berkumpul dengan Roekmini dan Kardinah--yang juga sedang dipingit--di kamar peninggalan Soelastri.
Kepada kedua adiknya, Kartini mulai menerapkan gagasannya tentang persamaan derajat. Dia membebaskan mereka dari tradisi unggah-ungguh berlebihan. Sebelumnya, sang adik tak boleh mendahuluinya kecuali dengan merangkak di tanah. Kini sang adik bebas mendahuluinya saat berjalan.
Alhasil, ketiganya bersukacita dalam pergaulan tanpa kekakuan yang selama ini menyelimuti persaudaraan mereka. “Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Di antara kami tak ada tata cara lagi,” ujar Kartini dalam suratnya kepada Stella. “Perasaan kami sendiri yang menentukan sampai mana batas-batas feodal itu boleh dijalankan!”

daftar pusataka : https://nasional.tempo.co/read/764528/hari-kartini-pingitan-yang-merenggut-masa-kecil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar